Rabu, 22 Februari 2012

Kebijakan Penyuluhan Pertanian di Indonesia


Implikasi Kebijaksanaan Penyuluhan Pertanian di Indonesia


Kebijakan penyuluhan pertanian di Indonesia mengalami beberapa perubahan yang berpengaruh terhadap peran maupun fungsinya, setidaknya ada empat periode perubahan kebijakan seperti yang disampaikan oleh Margono Slamet.

Periode sebelum tahun 1986

Penyuluh Pertanian Lapang terkoordinir oleh seorang kepala BPP dengan pendekatan Latihan dan Kunjungan (Laku) sebagai penggerak inovasi.   PPL yang jumlahnya relatif memadai dan berada pada rata-rata usia yang masih memungkinkan energik, telah menjadi pendorong terwujudnya swasembada beras.   Pola penyuluh menangani multi komoditi (polivalen) nampaknya pada masa itu dinilai masih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pada saat itu, yang memang belum terbiasa dengan spesifikasi dalam profesi.
Dibanding dengan periode tahun sesudah 1986, periode ini dapat dinilai merupakan periode yang paling efektif bagi kegiatan penyuluhan dengan pola pendekatan pembangunan pertanian yang sentralistis (top down), yang dalam realisasinya lebih mengutamakan kepentingan pencapaian tujuan Pusat, yaitu tercapainya swasembada pangan nasional.    Periode ini ditandai dengan publikasi tercapainya swasembada beras pada tahun 1984.   Namun swasembada beras nasional tersebut tidak bertahan lama.   Hal ini dapat menjadi salah satu indikator nyata sebagai kelemahan pendekatan yang sentralistis, yang tidak mengutamakan pendekatan petani dengan pengelolaan usahataninya sebagai sentral dalam pembangunan pertanian.   Petani hanya ditempatkan sebagai sarana untuk mencapai swasempada pangan nasional.   Terbukti ketika swasembada tersebut telah tercapai, ketahanan pangan rumahtangga petani dan masyarakat pedesaan masih dibayangi ancaman rawan pangan, karena tidak terkendalinya baik harga sarana input dan harga produk pertanian, serta melemahnya keswadayaan petani.
Pengorganisasian penyuluhan pertanian pada masa ini, dibanding dengan masa sesudahnya dapat dinilai telah menempatkan penyuluhan menjadi kondusif sebagai faktor pelancar pembangunan pertanian.   Telah terjadi perubahan yang nyata pada perilaku petani, dari tidak menerapkan teknologi maju pertanian seperti pupuk dan obat-obatan menjadi terbiasa menerapkan, bahkan sampai pada tingkat bila tidak menerapkan teknologi tersebut ada rasa bersalah dalam dirinya. Namun, pendekatan penyuluhan pada masa itu masih kurang kondusif bagi terwujudnya kemandirian petani, karena inovasi yang diterapkan oleh petani cenderung dianjurkan oleh penyuluh, sehingga menghasilkan petani yang  tergantung pada aparat dalam pengelolaan usahataninya.    Dalam kondisi seperti ini, kinerja penyuluh dan komponen-komponen penyuluhan lainnya (terutama kesinambungan inovasi) menjadi sangat menentukan kinerja pertanian.

Periode Tahun 1986-1991

Pada masa ini, pengorganisasian penyuluhan dirubah, peran penyuluh tidak  polivalen lagi.   Penyuluh yang semula berada di Dinas Pertanian Pangan, dibagi lagi tugasnya dan sesuai dengan bidang tugas monovalen penyuluh selanjutnya menjadi bagian dari dinas-dinas subsektoral, yakni Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas Perikanan dan Dinas Perkebunan.
Selanjutnya jumlah penyuluh yang menangani bidang pertanian makin berkurang, tetapi dihadapkan pada luas wilayah yang makin luas.  Penyuluh yang semula mempunyai wilayah kerja penyuluhan pertanian (WKPP) sekitar satu sampai dua desa, bertambah menjadi tiga sampai empat desa per PPL.   Sedangkan penyuluh yang bekerja pada dinas subsektoral, mempunyai wilayah kerja yang sangat luas, yang semula satu-dua desa, pada masa ini menjadi satu kecamatan.
Pada saat itulah terjadi hal-hal yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan penyuluhan yang efektif.   Beberapa kelemahan yang muncul kemudian :
1.      Kelompok binaan penyuluh menjadi semakin terbatas, yang semula sekitar 16 wilkel karena jangkauan geografis dan sosiologisnya makin luas menjadi menurun sekitar tinggal 5 - 8 kelompok saja yang dapat "dibina" secara relatif intensif oleh PPL.
2.      Kesinambungan inovasi melalui Laku juga menjadi kurang intensif, karena keragaman komoditi tersebut sebenarnya membutuhkan intensitas dan keragam materi penyuluhan (inovasi) yang makin tinggi pula.
3.      Petani belum siap menghadapi spesifikasi dalam keprofesian penyuluh seperti itu, yang dipahami petani selama ini adalah PPL itu melayani penyuluhan secara polivalen.
4.      Kegiatan penyuluh lebih banyak terbebani kegiatan-kegiatan proyek yang bersifat fisik dan target penyelesaian suatu proyek.   Yang kenyataannya hal ini sulit untuk disejalankan dengan konsep-konsep penyuluhan yang benar-benar menerapkan falsafah dasar penyuluhan.

Periode Tahun 1991-1996

Era ini ditandai dengan penyerahan urusan penyuluhan pertanian melalui SKB Mendagri dan Mentan Nomor 539/Kpts/LP.120/7/1991 dan nomor 65 Tahun 1991 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian di Daerah.
Banyak pengamat dan penyuluh pertanian berpendapat, dimasa ini terjadi stagnasi atau kemunduran penyelenggaraan penyuluhan pertannian, bahkan sebagian mengatakan sebagai kehancuran penyuluhan pertanian (ekstensia, volume 3 1996).   Masa ini ditandai dengan dinamika penyuluhan pertanian menurun drastis, lesu darah dan kurang gairah.   Para penyuluh mengeluh, kehilangan kemapanan yang sebelumnya dimiliki dengan penuh kebanggaan atas prestasi dan keberhasilan mencapai swasembada beras.  Mereka merasa tercampak karena terpecah-pecah dan terkotak-kotak secara subsektoral.  Berubahnya fungsi BPP, berubahnya sistem kerja para penyuluh dirasakan oleh penyuluh telah merenggut eksistensi diri, status dan pijakan sosial para penyuluh di masyarakat.
Adanya perbedaan kemampuan dan pemilikan sumberdaya pada masing-masing dinas yang bersifat otonom, telah menyebabkan terjadinya bias yang melemahkan kesatuan kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah.  Administrasi kepegawaian dikelola secara terpisah oleh masing-masing subsektor, yang menyebabkan perbedaan perlakuan sesama penyuluh dalam karirnya.  Penerapan desentralisasi ini masih belum diikuti dengan adanya klarifikasi rincian jenis pembinaan teknis yang jelas.  Pada hal dalam pelaksanaan desentralisasi ini tugas Deptan sebenarnya adalah memantau dan membina secara teknis kepada Daerah.  Berbagai penelitian (Karsa, 1994; Hasta, 1994 dalam Ekstensia, 1996) menunjukkan bahwa telah terjadi perbedaan antara konsep LAKU dengan penerapannya di lapang karena faktor ketersediaan dana; terjadi penurunan kinerja penyuluh pertanian baik secara kualitas maupun kuantitas; terjadi kerancuan operasional kerja penyuluhan pertanian sehingga ketidak serasian hubungan penyuluh antar sub-sektor, yang menyebabkan degradasi penyuluhan pertanian menjadi seolah lumpuh, tidak efektif dan tidak fleksibel.

Periode Setelah Tahun 1996

Diterbitkannya SKB Mendagri dan Mentan nomor 54 tahun 1996 dan nomor 301/Kpts/LP.120 /4/1996 tentang Pedoman Penyelenggaraan penyuluhan Pertanian dirasakan oleh para penyuluh sebagai angin segar, yang memberikan harapan bagi penyuluh untuk kembagi berjaya, leluasa berkiprah dalam penyuluhan yang teritegrasi antar subsektor.  Keberadaan BIPP menumbuhkan harapan penyuluh untuk menempatkan penyuluh pada jati dirinya kembali.  Namun, sampai kini penerapan SKB tersebut masih banyak menghadapi kendala, terutama masih tersisanya kepentingan-kepentingan subsektoral sejalan dengan belum jelasnya pedoman hubungan kerja antar lembaga pendukung pembangunan pertanian di tingkat daerah.
Seperti dikatakan Husein (ekstensia, 1996) pada saat ini, meskipun telah memasuki era desentralisasi, namun “budaya menunggu petunjuk dari atas” masih kuat melekat pada aparatur pemerintah.  Masih banyak aparat yang belum memahami makna desentralisasi sebagai suatu kondisi yang memerlukan sikap pro-aktif, yaitu kurang memahami bahwa asas desentralisasi pada dasarnya memberikan kewenangan untuk mengambil tindakan, berfikir dan berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan hakekat hukum yang diterima oleh masyarakat.
Kendala lainnya adalah terjadinya tarik-tarikan kedudukan penyuluh antara dinas subsektoral pertanian dengan BIPP.  Dinas subsektoral yang telah merasakan manfaat keberadaan penyuluh dalam mendukung secara langsung dan penuh atas proyek-proyek, serta telah dijadikan andalan di lapang ternyata merasakan sangat kehilangan dan masih ingin mempertahankan keberadaan penyuluh dalam lingkungan dinas tersebut.   Pengenalan masalah dan evaluasi kegiatan dinas-dinas di lapangan menjadi sangat melemah karena kelangkaan tenaga yang mampu menggantikan peran tenaga penyuluh di dinas tersebut.  Keberadaan BIPP sebagai tali pengikat dan wadah para penyuluh masih terkendala oleh status kepegawaian yang mendua, terutama dalam penggajian dan status kepegawaiannya yang masih berada di instansi dinas subsekror tersebut.
Keberadaan seksi penyuluhan di masing-masing dinas subsektoral paling merasakan dampaknya, apakah keberadaan seksi ini masih perlu dipertahankan ataukah dihapuskan saja ?, menjadi pertanyaan yang belum terjawab di lapang.   Kalau pada periode sebelumnya terjadi ketidak serasian antar penyuluh itu penyuluh karena terkotak-kotak secara subsektoral, kini yang terjadi belum terciptanya keserasian antara kegiatan dinas dengan kegiatan penyuluhan dibawah koordinasi BIPP.
Sebenarnya hal diatas terjadi karena belum jelasnya mekanisme kerja antara penyuluh dengan dinas.  Hal ini menyangkut masalah kelembagaan penyuluhan di daerah, yang memerlukan kejelasan norma hubungan kerja dan ketegasan tentang rentang kendali koordinasi yang sinergis antara BIPP, Sekdal Bimas Tingkat II dan Dinas-dinas Subsektoral di Daerah Tingkat II.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar