Implikasi
Kebijaksanaan Penyuluhan Pertanian di Indonesia
Kebijakan
penyuluhan pertanian di Indonesia mengalami beberapa perubahan yang berpengaruh
terhadap peran maupun fungsinya, setidaknya ada empat periode perubahan
kebijakan seperti yang disampaikan oleh Margono Slamet.
Periode sebelum
tahun 1986
Penyuluh Pertanian Lapang terkoordinir oleh seorang
kepala BPP dengan pendekatan Latihan dan Kunjungan (Laku) sebagai penggerak
inovasi. PPL yang jumlahnya relatif
memadai dan berada pada rata-rata usia yang masih memungkinkan energik, telah
menjadi pendorong terwujudnya swasembada beras. Pola penyuluh menangani multi komoditi
(polivalen) nampaknya pada masa itu dinilai masih sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan masyarakat pada saat itu, yang memang belum terbiasa dengan
spesifikasi dalam profesi.
Dibanding dengan periode tahun sesudah 1986, periode
ini dapat dinilai merupakan periode yang paling efektif bagi kegiatan
penyuluhan dengan pola pendekatan pembangunan pertanian yang sentralistis (top down), yang dalam realisasinya lebih
mengutamakan kepentingan pencapaian tujuan Pusat, yaitu tercapainya swasembada
pangan nasional. Periode ini ditandai
dengan publikasi tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Namun swasembada beras nasional tersebut tidak
bertahan lama. Hal ini dapat menjadi
salah satu indikator nyata sebagai kelemahan pendekatan yang sentralistis, yang
tidak mengutamakan pendekatan petani dengan pengelolaan usahataninya sebagai
sentral dalam pembangunan pertanian.
Petani hanya ditempatkan sebagai sarana untuk mencapai swasempada pangan
nasional. Terbukti ketika swasembada
tersebut telah tercapai, ketahanan pangan rumahtangga petani dan masyarakat
pedesaan masih dibayangi ancaman rawan pangan, karena tidak terkendalinya baik
harga sarana input dan harga produk pertanian, serta melemahnya keswadayaan
petani.
Pengorganisasian penyuluhan pertanian pada masa ini,
dibanding dengan masa sesudahnya dapat dinilai telah menempatkan penyuluhan
menjadi kondusif sebagai faktor pelancar pembangunan pertanian. Telah terjadi perubahan yang nyata pada
perilaku petani, dari tidak menerapkan teknologi maju pertanian seperti pupuk
dan obat-obatan menjadi terbiasa menerapkan, bahkan sampai pada tingkat bila
tidak menerapkan teknologi tersebut ada rasa bersalah dalam dirinya. Namun,
pendekatan penyuluhan pada masa itu masih kurang kondusif bagi terwujudnya
kemandirian petani, karena inovasi yang diterapkan oleh petani cenderung
dianjurkan oleh penyuluh, sehingga menghasilkan petani yang tergantung pada aparat dalam pengelolaan
usahataninya. Dalam kondisi seperti
ini, kinerja penyuluh dan komponen-komponen penyuluhan lainnya (terutama
kesinambungan inovasi) menjadi sangat menentukan kinerja pertanian.
Periode Tahun 1986-1991
Pada masa ini, pengorganisasian penyuluhan dirubah,
peran penyuluh tidak polivalen
lagi. Penyuluh yang semula berada di
Dinas Pertanian Pangan, dibagi lagi tugasnya dan sesuai dengan bidang tugas
monovalen penyuluh selanjutnya menjadi bagian dari dinas-dinas subsektoral,
yakni Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas Perikanan dan Dinas Perkebunan.
Selanjutnya jumlah penyuluh yang menangani bidang
pertanian makin berkurang, tetapi dihadapkan pada luas wilayah yang makin
luas. Penyuluh yang semula mempunyai
wilayah kerja penyuluhan pertanian (WKPP) sekitar satu sampai dua desa,
bertambah menjadi tiga sampai empat desa per PPL. Sedangkan penyuluh yang bekerja pada dinas
subsektoral, mempunyai wilayah kerja yang sangat luas, yang semula satu-dua
desa, pada masa ini menjadi satu kecamatan.
Pada saat itulah terjadi hal-hal yang kurang
menguntungkan bagi penyelenggaraan penyuluhan yang efektif. Beberapa kelemahan yang muncul kemudian :
1.
Kelompok binaan penyuluh menjadi
semakin terbatas, yang semula sekitar 16 wilkel karena jangkauan geografis dan
sosiologisnya makin luas menjadi menurun sekitar tinggal 5 - 8 kelompok saja
yang dapat "dibina" secara relatif intensif oleh PPL.
2.
Kesinambungan inovasi melalui Laku
juga menjadi kurang intensif, karena keragaman komoditi tersebut sebenarnya membutuhkan
intensitas dan keragam materi penyuluhan (inovasi) yang makin tinggi pula.
3.
Petani belum siap menghadapi
spesifikasi dalam keprofesian penyuluh seperti itu, yang dipahami petani selama
ini adalah PPL itu melayani penyuluhan secara polivalen.
4.
Kegiatan penyuluh lebih banyak
terbebani kegiatan-kegiatan proyek yang bersifat fisik dan target penyelesaian
suatu proyek. Yang kenyataannya hal ini
sulit untuk disejalankan dengan konsep-konsep penyuluhan yang benar-benar
menerapkan falsafah dasar penyuluhan.
Periode Tahun 1991-1996
Era
ini ditandai dengan penyerahan urusan penyuluhan pertanian melalui SKB Mendagri
dan Mentan Nomor 539/Kpts/LP.120/7/1991 dan nomor 65 Tahun 1991 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian di Daerah.
Banyak
pengamat dan penyuluh pertanian berpendapat, dimasa ini terjadi stagnasi atau
kemunduran penyelenggaraan penyuluhan pertannian, bahkan sebagian mengatakan
sebagai kehancuran penyuluhan pertanian (ekstensia, volume 3 1996). Masa ini ditandai dengan dinamika penyuluhan
pertanian menurun drastis, lesu darah dan kurang gairah. Para penyuluh mengeluh, kehilangan kemapanan
yang sebelumnya dimiliki dengan penuh kebanggaan atas prestasi dan keberhasilan
mencapai swasembada beras. Mereka merasa
tercampak karena terpecah-pecah dan terkotak-kotak secara subsektoral. Berubahnya fungsi BPP, berubahnya sistem
kerja para penyuluh dirasakan oleh penyuluh telah merenggut eksistensi diri,
status dan pijakan sosial para penyuluh di masyarakat.
Adanya
perbedaan kemampuan dan pemilikan sumberdaya pada masing-masing dinas yang
bersifat otonom, telah menyebabkan terjadinya bias yang melemahkan kesatuan
kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah.
Administrasi kepegawaian dikelola secara terpisah oleh masing-masing
subsektor, yang menyebabkan perbedaan perlakuan sesama penyuluh dalam
karirnya. Penerapan desentralisasi ini
masih belum diikuti dengan adanya klarifikasi rincian jenis pembinaan teknis
yang jelas. Pada hal dalam pelaksanaan
desentralisasi ini tugas Deptan sebenarnya adalah memantau dan membina secara
teknis kepada Daerah. Berbagai
penelitian (Karsa, 1994; Hasta, 1994 dalam Ekstensia, 1996) menunjukkan bahwa
telah terjadi perbedaan antara konsep LAKU dengan penerapannya di lapang karena
faktor ketersediaan dana; terjadi penurunan kinerja penyuluh pertanian baik
secara kualitas maupun kuantitas; terjadi kerancuan operasional kerja
penyuluhan pertanian sehingga ketidak serasian hubungan penyuluh antar
sub-sektor, yang menyebabkan degradasi penyuluhan pertanian menjadi seolah
lumpuh, tidak efektif dan tidak fleksibel.
Periode Setelah Tahun 1996
Diterbitkannya
SKB Mendagri dan Mentan nomor 54 tahun 1996 dan nomor 301/Kpts/LP.120 /4/1996
tentang Pedoman Penyelenggaraan penyuluhan Pertanian dirasakan oleh para
penyuluh sebagai angin segar, yang memberikan harapan bagi penyuluh untuk
kembagi berjaya, leluasa berkiprah dalam penyuluhan yang teritegrasi antar
subsektor. Keberadaan BIPP menumbuhkan
harapan penyuluh untuk menempatkan penyuluh pada jati dirinya kembali. Namun, sampai kini penerapan SKB tersebut
masih banyak menghadapi kendala, terutama masih tersisanya
kepentingan-kepentingan subsektoral sejalan dengan belum jelasnya pedoman
hubungan kerja antar lembaga pendukung pembangunan pertanian di tingkat daerah.
Seperti dikatakan Husein (ekstensia, 1996) pada saat
ini, meskipun telah memasuki era desentralisasi, namun “budaya menunggu
petunjuk dari atas” masih kuat melekat pada aparatur pemerintah. Masih banyak aparat yang belum memahami makna
desentralisasi sebagai suatu kondisi yang memerlukan sikap pro-aktif, yaitu
kurang memahami bahwa asas desentralisasi pada dasarnya memberikan kewenangan
untuk mengambil tindakan, berfikir dan berbuat sepanjang tidak bertentangan
dengan hakekat hukum yang diterima oleh masyarakat.
Kendala lainnya adalah terjadinya tarik-tarikan
kedudukan penyuluh antara dinas subsektoral pertanian dengan BIPP. Dinas subsektoral yang telah merasakan
manfaat keberadaan penyuluh dalam mendukung secara langsung dan penuh atas proyek-proyek,
serta telah dijadikan andalan di lapang ternyata merasakan sangat kehilangan
dan masih ingin mempertahankan keberadaan penyuluh dalam lingkungan dinas
tersebut. Pengenalan masalah dan
evaluasi kegiatan dinas-dinas di lapangan menjadi sangat melemah karena
kelangkaan tenaga yang mampu menggantikan peran tenaga penyuluh di dinas
tersebut. Keberadaan BIPP sebagai tali
pengikat dan wadah para penyuluh masih terkendala oleh status kepegawaian yang
mendua, terutama dalam penggajian dan status kepegawaiannya yang masih berada
di instansi dinas subsekror tersebut.
Keberadaan seksi penyuluhan di masing-masing dinas
subsektoral paling merasakan dampaknya, apakah keberadaan seksi ini masih perlu
dipertahankan ataukah dihapuskan saja ?, menjadi pertanyaan yang belum terjawab
di lapang. Kalau pada periode
sebelumnya terjadi ketidak serasian antar penyuluh itu penyuluh karena
terkotak-kotak secara subsektoral, kini yang terjadi belum terciptanya
keserasian antara kegiatan dinas dengan kegiatan penyuluhan dibawah koordinasi
BIPP.
Sebenarnya hal diatas terjadi karena belum jelasnya
mekanisme kerja antara penyuluh dengan dinas.
Hal ini menyangkut masalah kelembagaan penyuluhan di daerah, yang
memerlukan kejelasan norma hubungan kerja dan ketegasan tentang rentang kendali
koordinasi yang sinergis antara BIPP, Sekdal Bimas Tingkat II dan Dinas-dinas
Subsektoral di Daerah Tingkat II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar